Politik

Apa sih Politik di Era Industri Buzzer ? Mari sama-sama kita simak !

banner 160x600

riaubertuah.id

Penyalainews.com - Pada mulanya adalah cuap. Meski ruang yang tersedia hanya 140 karakter, Twitter menjadi wadah bagi para penggunanya untuk bercakap, berdebat, bahkan bersitegang soal apa pun, termasuk politik. Jika sebuah akun Twitter seseorang punya audiens luas, ia bukan lagi sekadar pengguna Twitter biasa. Ia punya potensi menjadi pengeras suara dan menggemakan suatu isu. Istilahnya: buzzer.  

Seorang buzzer, berbayar atau tidak, bisa bekerja untuk macam-macam konten. Mulai dari promosi kaus kaki hingga mendukung calon presiden. Meski jumlah pengguna Twitter nyaris tidak mengalami pertumbuhan, ternyata sampai Pilkada serentak yang lalu platform ini masih menjadi medan perdebatan urusan politik. 

  
“Untuk isu-isu besar nasional, Twitter masih menjadi medan perang,” tutur Ismail Fahmi, Founder Media Kernel Indonesia pada Selasa (31/10/2017) dalam acara diskusi publik “Di Balik Fenomena Buzzer” di Cikini, Jakarta Pusat. 

Awalnya, para buzzer di media sosial hanya digunakan sebagai promotor barang komersial saat platform media sosial seperti Facebook dan Twitter belum ada fitur untuk menjajakan iklan. Sementara itu, dalam dunia politik, ia bekerja untuk dua tujuan: pembingkaian dan amplifikasi isu-isu politik tertentu sesuai kepentingan partai politik, tokoh politik, ataupun ideologi pribadi. 

Riset oleh Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) tahun 2017 menguraikan empat karakter umum yang dimiliki oleh buzzer. 

Pertama, buzzer harus memiliki jaringan luas yang memudahkan mengumpulkan informasi-informasi krusial. Pengikut dengan jumlah yang besar juga menjadi bagian dari karakter jaringan luas yang harus dimiliki. Kedua, buzzer memiliki kemampuan untuk melakukan perbincangan dengan khalayak di linimasa sosial media agar membuat pesan yang disampaikan menjadi persuasif dan dapat dipersonifikasi. Kemampuan produksi konten seperti pengetahuan jurnalistik dan pembingkaian/pemilihan informasi adalah karakter ketiga buzzer. Keempat, perihal motif, seorang buzzer bisa dibayar atau berdasarkan keputusan sukarela yang didorong oleh alasan ideologi maupun kepuasan. Buzzer tidak selalu harus seorang penyanyi terkenal yang dipuja-puja khalayak ramai, tapi cukup seseorang—bahkan bot—dengan angka pengikut (setidaknya) di atas 2.000.

Saat ini, para buzzer bukanlah pemain tunggal, melainkan bagian dari industri strategi komunikasi yang digunakan untuk promosi oleh korporasi maupun oleh partai politik/tokoh politik. 

Alur dari industri ini dimulai dengan proses rekrutmen terhadap buzzer. Kemudian, mereka (buzzer) akan dipetakan sesuai dengan kebutuhan pasar. Untuk tahap ini, telah ada situs seperti Go-Viral dan Sociobuzz yang menghubungkan konsumen dengan buzzer yang cocok untuk kampanye yang akan mereka lakukan. 

Para buzzer juga akan melalui proses seleksi untuk menilai tingkat keaktifan mereka yang jika terpilih akan dilanjutkan dengan kopi darat bersama dengan perwakilan agensi. Menurut wawancara CIPG dengan perwakilan agensi periklanan, jenjang karir buzzer dibagi menurut kualitas engagement (retweets, likes, komentar). Semakin tinggi level, semakin tinggi bayaran. 

Akan tetapi, skenario diatas terkadang tidak berlaku untuk para buzzer politik. Pemberi pekerjaan, pemberi bayaran, seringkali tidak setransparan para buzzer produk komersil. 

“Sering diistilahkan oleh informan atau narasumber kami itu uang yang dipolitik adalah uang siluman,” jelas Rinaldi Camil, peneliti dari CIPG. Ia juga menjelaskan buzzer politik jarang bertatap muka dengan agensi yang memberikan pekerjaan. Di ranah politik, kerahasiaan menjadi tameng utama bagi buzzer dan klien untuk merasa aman dalam transaksi ini. 

Bukan hanya kerahasiaan, kekuatan para buzzer tentunya juga terletak pada strategi diskursus media sosial yang mereka lakukan. Para buzzer yang berkicau di Twitter memanfaatkan tagar-tagar unik yang bisa menarik warga net untuk mengirim kicauan dengan tagar yang sama agar dapat membentuk sebuah jaringan percakapan yang masuk dalam topik populer. 

Mereka juga tidak hanya menggunakan satu media sosial, tapi juga memanfaatkan ekosistem media sosial yang luas termasuk grup-grup yang sifatnya lebih tertutup di WhatsApp dan Telegram. Di saat yang sama, legitimasi konten yang dibagikan lewat berbagai perantara ini dibangun dengan memanfaatkan berita dari situs-situs media yang telah memiliki kredibilitas dan basis pembaca. 

Buzzer akan memilih pemberitaan dari sebuah situs media yang mendukung pembingkaian isu politik yang mereka lakukan. Dalam hal bentuk pesan, narasi maupun propaganda dari seorang buzzer tidak terbatas pada tulisan, tapi bisa juga gambar dalam bentuk meme maupun video yang diunggah ke Youtube. Pemanfaatan ekosistem ini menjadi strategi untuk memenangkan perang informasi. 

aat ini, menurut Enda Nasution, Koordinator Gerakan #BijakBersosmed , strategi para buzzer sudah semakin mutakhir. Untuk memperlebar percakapan dan menciptakan atmosfer penuh kehebohan, para buzzer bisa dibagi dalam kelompok-kelompok berbeda untuk melakukan simulasi adu argumentasi. Di titik ini, ketika buzzer sudah menjadi industri, penyebaran informasi hoax, ujaran kebencian, dan kicauan berbau SARA juga menjadi strategi yang dihalakan sebagian pemain di industri ini. 

Persoalannya, industri buzzer berkembang, tapi nyaris tak ada aturan main yang khusus mengatur industri ini. Padahal, transparansi penting dan aturan bisa melindungi masyarakat dari manipulasi melalui informasi fiktif yang tidak terkendali. 

Terkait pemilu, buzzer perlu juga diatur dalam mempromosikan kandidat dan batas waktu berkicau. Yang juga penting, selain harus ada literasi penggunaan media sosial, pelaku fabrikasi dan penyebaran informasi palsu (hoax) pun harus ditindak.***red

Tirto.id