Opini

Benarkah Indonesia 'Bubar' 2030, Kiritik atau Fakta ?

No comment 610 views
banner 160x600

riaubertuah.id

Penyalainews, Kediri - Seluruh negara yang ada di dunia memiliki tiga tujuan utama, yaitu aman, damai, dan sejahtera. Untuk meraih beberapa tujuan tersebut, dapat dipastikan banyak aral yang akan menjadi rintangan atau bahkan tantangan suatu bangsa.
 
Bangsa Indonesia pada khususnya, harus menyikapi secara cepat, cermat, dan tepat akan masalah tantangan bangsa untuk millennium ke depan.
 
Setiap aktualisasi dari rencana suatu bangsa harus dilaksanakan sesuai system kepemerintahannya. Kita semua sudah mengetahui bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial secara demokrasi terpimpin.
 
Ketika berbicara demokrasi maka sama dengan halnya bicara tentang pemerintahan dan seni menjalankan sebuah pemerintahan. Salah satu ciri demokrasi adalah adanya kebebasan berpendapat.
 
Hal semacam ini dijamin pada Pasal 28E ayat 3 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Terkadang, hal “kebebasan mengeluarkan pendapat” juga dapat menimbulkan “pro dan kontra”.
 
Beberapa waktu yang lalu, sangat ramai diperbincangkan mengenai terkait statement Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menyatakan bahwa Indonesia akan bubar pada tahun 2030. Sudah banyak ulasan maupun argumen baik pro ataupun kontra terkait problematika ini.
 
Pro dan kontra yang muncul sudah sangat jelas tidak dapat dihindarkan lagi, karena batin dan pikiran setiap manusia yang ‘memancarkan‘ sebuah pandangan merupakan bagian dari aspek eksistensial manusia, yang sudah jelas subjektivitas orang pasti berbeda
 
Definisi bubar menurut KBBI adalah bercerai-berai ke mana-mana, selesai; usai, selesai tugas; berhenti bertugas, ditiadakan.
 
Menurut penulis, esensi pidato Indonesia 2030 bubar itu adalah warning dari salah satu orang yang ‘nasionalis’ terhadap negaranya yang sedang melihat adanya sebuah kemungkinan ancaman dari luar terhadap keutuhan nusa bangsa negara yang dia bela.
 
Kata ‘bubar’ disini bukan bermaksud Indonesia ‘lenyap’ ataupun bangsa Indonesia ‘selesai’, tetapi kata ‘bubar’ disini bermaksud keadaan masyarakat bangsa Indonesia yang tercerai-berai akibat kondisi ekonomi, sosial (SARA), politik, keamanan, yang dirasa dalam kurun beberapa waktu belakangan semakin ‘memanas’. Sebetulnya penulis novel itu juga bukan penulis novel layaknya penulis novel lainnya, akan tetapi dia merupakan seorang Ilmuwan Politik Amerika.
 
Salah satu penulis novel itu bernama Peter Warren Singer, dimana ia adalah sarjana hubungan Internasional khususnya dalam pembahasan peperangan abad 21. Dia saat ini menjadi ahli strategi untuk New Amerika Foundation, yang merupakan sebuah lembaga “think tank” nirlaba, dan editor untuk Populer Science , majalah Ilmu Pengetahuan ternama di AS, dan terakhir dia juga konsultan CIA.
 
Singer pernah menjadi Direktur Pusat Keamanan dan Intelegensi Abad ke-21. Sebelum itu, ia pendiri Proyek Kebijakan AS di Dunia Islam pada Pusat Kebijakan Timur Tengah di Brookings. Dia juga bekerja untuk Pusat Ilmu dan Urusan Internasional Belfer di Universitas Harvard, Satuan Tugas Balkan di Departemen Pertahanan AS, dan Akademi Perdamaian Internasional.
 
Singer menerima gelar Ph.D. dari Harvard University dan A.B. dari Woodrow Wilson School of Public and International Affairs di Princeton. Defense News menobatkannya sebagai salah satu dari 100 orang paling berpengaruh dalam masalah pertahanan. Ia juga melayani kelompok penasihat untuk Komando Pasukan Gabungan, membantu militer AS memvisualisasikan dan merencanakan masa depan.
 
Pada tahun 2015, ia dianggap oleh analisis Onalytica.com sebagai “salah satu dari sepuluh suara yang paling berpengaruh pada isu keamanan cyber. Peter W. Singer juga telah memberi komentat atas statement Indonesia bubar pada 2030 yang dikutip Prabowo Subianto dari novelnya yaitu Ghost Fleet.
 
Singer mengomentari hal itu melalui ‘cuitan’ di akun Twitternya, @peterwsinger "Pemimpin oposisi Indonesia mengutip #GhostFleet dalam pidato kampanye berapi-api, Ada banyak liku dan perubahan tak terduga dari pengalaman buku ini, tapi ini mungkin mengambil bagiannya."
 
Perlu diketahui bahwa meski novel ini disebut novel fiksi, sebetulnya apa yang ditulis Singer dan A. Cole itu dapat dikatakan seperti “ramalan”.
 
Tak heran bila Pentagon pun menggunakan sebagai bahan kajian. Kita harus berpikir bahwa bukan tidak mungkin suatu karya novel itu sejatinya merupakan informasi yang disamarkan sebagai sebuah novel.
 
Misalnya saja novel terbitan Hector Bywater pada tahun 1925. Bywater yang merupakan wartawan dari Amerika, mempunyai titik fokus pada intelijen angkatan laut yang menggambarkan di novelnya bakal pecahnya perang pasifik antara Amerika versus Jepang.
 
Alhasil, ternyata kejadian itu benar-benar terjadi. Perlu diketahui bahwa Bung Karno pernah membaca buku ini pada tahun 1927. Bung Karno cukup peka menangkap isi novel itu dan mulai saat itulah Bung Karno mulai mengingatkan berbagai kalangan agar kita siap merdeka begitu jepang kalah.
 
Novel yang juga diyakini sebagai informasi intelijen adalah karya Tom Clancy seperti Executive Order, Dragon and the Bear, dan isi yang diceritakan dari dua buku itu semua sudah terbukti benar.
 
Jika kita benar-benar paham tentang bagaimana keadaan di dalam negeri ini sekarang, maka tidak salah lagi Prabowo mengatakan Indonesia akan bubar 2030.
 
Jika kesenjangan sosial terus berkembang menjadi tinggi, terjadi krisis ekonomi dan sosial, tujuan hukum tidak terimplementasi, maka yang akan terjadi adalah masyarakat akan frustasi dan akan timbul chaos.
 
Berdasarkan data Bank Dunia 2015, 26,9 % atau 68 juta orang Indonesia hidup kurang dari 50% di atas garis kemiskinan nasional. Jika mereka mengalami masalah ekonomi dimana ini berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, maka mereka bisa jatuh miskin dengan mudah.
 
Suisse Global Wealth Report pada tahun 2016 menyatakan bahwa angka rasio gini Indonesia adalah 0.49, dimana artinya 1% orang terkaya (hanya 2,5 juta orang) menguasai 49% kekayaan Indonesia. BPS juga mempunyai data pada tahun 2015 bahwa ada 29 juta orang Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan pemerintah, ini mencakup 8.3% penduduk kota dan 14.2% penduduk desa.
 
Jika dikatakan krisis ekonomi, sebenarnya Indonesia dilanda krisis ekonomi, dimana kita bisa melihat pada unggahan berita Kompas.com pada 15/3/2018 bahwa utang luar negeri Indonesia naik 10% atau mencapai Rp. 4.914 Triliun.
 
Badan Pusat Statistik (BPS) juga telah mengungkapkan, pada tahun 2017 telah terjadi kenaikan jumlah pengangguran di Indonesia sebesar 10.000 orang menjadi dari 7,03 juta orang menjadi 7,04 juta orang (Dari periode Agustus 2016 sampai Agustus 2017).
 
Dalam konteks pangan pun pemerintah seakan-akan bergantung pada negara asing, dimana pada tahun 2018 pemerintah juga telah melakukan impor beras 500.000 ton, impor gula 1,8 juta ton, impor 3,7 ton (Merdeka.com 20/1/2018).
 
Hasil temuan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA Publik pada Jumat (2/2/2018) menilai pengangguran makin meningkat sebanyak 48.4 persen. Lalu kebutuhan pokok yang publik melihatnya, semakin berat dengan persentase 52,6 persen. Serta lapangan pekerjaan, dianggap semakin berat dengan persentase penilaian 54 persen. Di lansir di detik.com, Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) pada 21 Mei 2018 menembus level RP 14.200. Angka ini naik tiga poin dari posisi sebelumnya di level Rp 14.197.
 
Dalam konteks SARA-pun, perlu kita sadari juga terdapat berbagai masalah. Di mulai dari kasus ‘penistaan’ agama (surat Al-Maidah ayat 51) oleh mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab dengan nama ‘Ahok’.
 
Kemudian kriminilasisasi Ulama yang dialami oleh Habib Rizieq dengan tuduhan ‘chat sex’, penganiyaan beberapa ulama oleh ‘orang gila’ dan pembunuhan salah satu ulama di Jawa Barat ( Alm. Ustadz Prawoto ) oleh ‘orang gila’, perusakan masjid di Tuban oleh ‘orang gila’, penyerangan di Gereja Santa Lidwina Gamping Sleman saat acara Misa, pembacaan puisi oleh Sukmawati Soekarnoputri yang di dalam bagiannya ada yang menyinggung mengenai azan dengan mengatakan “..
 
suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elokLebih merdu dari alunan azan mu..” dan serta menyinggung mengenai cadar dengan mengatakan “.. sari konde ibu Indonesia sangatlah indah Lebih cantik dari cadar dirimu..”, oknum polisi yang diduga telah melakukan pengrusakan Alquran di Masjid Nurul Imam, Medan, beberapa minggu yang lalu juga terjadi pengeboman di beberapa gereja di Surabaya, selajutnya baru-baru ini ada peristiwa potongan Alquran tersobek-sobek dan berserakan di Jalan Gunawarman, Jaksel dimana pelaku belum diketahui.
 
Beberapa kasus diatas merupakan contoh indikasi “bubar”, dimana “bubar” disini bukan berarti “selesai/tiada”, tetapi diartikan “tercerai-berai”. Ketika permasalahan SARA ini muncul di tengah lingkungan masyarakat, maka akan timbul rasa prasangka negative antara satu dengan yang lain. Disinilah yang dikhawatirkan, ketika integritas ‘tergerus’ dengan permasalahan SARA, maka yang dikhawatirkan untuk terjadi adalah peng-‘kotak-kotak-an’,
 
dimana masyarakat akan membentuk kelompok-kelompok sosial yang masing-masing anggota kelompok mempunyai satu prinsip yang sama, dan menganggap kelompok sosial yang ‘diluar’ mereka merupakan ‘musuh’ dari kelompoknya. ( In-group vs Out-Group).
 
Masalah keamanan-pun juga harus kita perhatikan. Jumlah tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia menurut Databoks Katadata Indonesia meningkat 69.85% dalam kurun 3 tahun terakhir.
 
Dari tahun 2015 yang jumlahnhya 69.000 ribu TKA, tahun 2016 berjumlah 74.813 ribu TKA, dan di tahun 2017 berjumlah 126.000 ribu TKA. Perlu diketahui bahwa masuknya tenaga kerja dari Tiongkok menjadi tenaga kerja asing paling banyak di Indonesia dengan jumlah 21.271 ribu jiwa (Data Kemenaker, 2017).
 
Sebenarnya, kita perlu mengetahui bahwa Tiongkok merupakan negara wajib militer, dimana setiap masyarakat Tiongkok selama umur 18-23 tahun diwajibkan mengikuti wajib militer. Melihat akan hal itu, otomatis semua TKA yang datang di Indonesia praktis tentara, paling tidak mantan tentara, atau bisa disebut juga mantan wajib militer.
 
Dari situ kita dapat melihat bahwa terdapat ancaman laten dari asing, dan ini jika dibiarkan akan berdampak negative pada situasi dan kondisi keamanan di Indonesia.
 
Bahkan bila terjadi perang antara Amerika dan China kemudian Indonesia terkena imbasnya , kondisi peralatan tempur Indonesia sangat mengkhawatirkan. Hal ini juga diungkapkan Menhan sejak tahun 2015 sebagaimana pernah ditulis oleh berbagai portal (salah satunya Repulika.co.id 22/2/2015).
 
Menhan mengisyaratkan ‘keprihatinannya’ terhadap dunia ketahanan. Bahkan Ryamizard pesimis Indonesia bisa bertahan jika suatu saat terjadi perang. Sebagai gambaran Menhan mengatakan , cadangan peluru kita untuk TNI hanya untuk 3 hari, beras untuk konsumsi rakyat hanya 18 hari, dan BBM untuk keperluan rakyat 12-18 hari. Sangat beresiko bukan?
 
Sebenarnya yang disampaikan Prabowo itu sebuah peringatan ataupun dapat dikatakan sebuah kritikan. Dengan kritik itulah yang menjadi pemantik untuk berbuat baik. Semua rakyat-pun enggan mencaci maki bangsa sendiri dihadapan orang luar. Akan tetapi di dalam diri sendiri harus ada keberanian untuk mengoreksi. Hal ini bukan pesimistis, tetapi realistis dengan keadaan.
 
Justru ketika beliau memberi peringatan bagi kita, kita sebaiknya harus waspada apa yang akan terjadi di kemudian hari. Secara tersirat, Prabowo berusaha mengingatkan agar kita semua menjaga integritas atau keutuhan serta persatuan di tengah ‘gelombang’ masalah yang terjadi dan yang dapat menimbulkan konflik horizontal di lingkungan masyarakat.
 
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1439 H.Talqobbalallahu minna wa minkum. Barakallahu Fiikum. Mohon Maaf Lahir dan Batin. Kembali ke fitrah, kembali bersilaturahmi, saling bermaafan.***red/adc
 
Penulis : Fradhana Putra Disantara
Mahasiswa Angkatan 2017 Jurusan Hukum di Univeristas Negeri Surabaya dan selaku Ketua Pelaksana Harian Pandu Garuda Indonesia Raya - GRPG 08 Dewan Pimpinan Daerah Jawa