Riautimes.co.id -- Meluruskan miskonsepsi sebuah diksi bernama emansipasi, penting menjadi perenuangan tersendiri. Sebagai kaum perempuan, kita perlu tukmaninah memahami diksi familier itu (emansipasi).
Karena, biar bagaimanapun, emansipasi sebetulnya tak sefrontal persepsi-persepsi yang liar di ranah global. Artinya, emansipasi bukan bebas tanpa mengindahkan kaidah.
Oleh karenanya, menjadi sebuah kekeliruan ketika emansipasi dijadikan pembenaran untuk dibolehkannya hal-hal kontradiktif seperti bolehnya perempuan menjadi imam salat, pembagian hak waris tanpa hukum yang tepat, menuntut hak kesetaraan tanpa batas, dan lain-lain.
Adapun kebebasan yang digagas R.A Kartini adalah kebebasan untuk mencerahkan zaman dan meluruskan cara pandang.
Sehingga, kaum perempuan memiliki hak untuk mengakses pendidikan, mampu berlepas dari otoritas suatu adat, dan mampu berkontribusi di ranah publik tanpa bertolak belakang dengan fitrah yang diemban.
Jadi, salah satu kedalaman makna yang bisa kita gali dari pemikiran Kartini adalah tentang bagaimana perempuan dapat menjadi kontributor peradaban.
Berbicara kontributor peradaban, tentu banyak variabel yang harus ditempuh. Karena berbicara membangun negeri dengan segala perniknya bukanlah perkara pragmatis.
Pertama, kita harus bermodalkan mindset yang baik. Artinya, Sebagai perempuan kita harus cerdas menentukan visi hidup.
Jika visi hidup kita hanya untuk menjadi ibu rumah tangga dengan kebebasan memanfaatkan dan menikmati keluangan waktu yang ada, ini penting direnungi. Karena hakikat hidup manusia itu untuk menebar manfaat.
Dan akan sangat berbeda dengan seorang ibu yang bervisi hidup jelas, meski kesehariannya hanya mengurus rumah tangga. Mereka akan membuatkan road map untuk masing-masing anggota keluarganya, sehingga anggota keluarga di rumahnya terbiasa dengan budaya disiplin, budaya target, budaya belajar, dan budaya produktif.
Kedua, bagaimana kita berupaya untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat. Belajar sepanjang hayat itu sendiri merupakan sebuah ide yang dicetuskan oleh komisi internasional untuk pembangunan pendidikan ICDE (The International Council for Open and Distance Education).
Itu jadi sebuah prinsip di mana kita sebagai manusia senantiasa terdongkrak untuk memperbaiki kualitas dan menaikkan kapasitas diri. Selain itu, juga sebagai sebuah tantangan agar kita tetap dapat membuktikan eksistensi, keluhungan dan keberdayaan.
Ketiga, penting bagi kita untuk menjadi adaptive learner (pembelajar yang memiliki daya suai). Dengan prinsip belajar sepanjang hayat saja, tak cukup untuk memenuhi kebutuhan peningkatan kualitas hidup, sebagaiamana diungkapkan oleh Yuheti, dkk (2008) bahwa proses pembelajaran menjadi optimal jika diawali oleh motivasi, pengetahuan, dan pengalaman belajar.
Oleh karena itu, sebagai adaptive learner, diharapkan perempuan memiliki kemampuan untuk menyelaraskan diri terhadap fenomena, serta menyelaraskan diri untuk berkembang dengan optimal dan kompetitif.
Bukan sebaliknya, di mana kita merasa cukup dengan satu kemampuan atau satu capaian yang diraih. Selaras dengan hal ini, Putra Wirawan dan Sugihartini (2018) mengemukakan bahwa proses belajar adalah adanya perubahan pada tingkat pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Keempat, menebar inspirasi berdasarkan kecakapan yang dimiliki. Dalam hal ini, setiap individu itu bersama keragaman latar belakang, profesi, kompetensi, potensi, hobi, bahkan chemistry.
Artinya, setiap perempuan bisa berdaya dengan masing-masing kecakapan yang dimilikinya. Seorang perempuan dengan homebased di dunia fashion, maka dirinya berpotensi memajukan diri dan keluarganya, serta menginspirasi untuk masyarakat lebih luas.
Demikian pula dengan perempuan yang berkapasitas untuk duduk di kursi parlemen, maka menjadi modal untuk dirinya berkontribusi pada semesta.
Pun bagi perempuan dengan kepakaran di bidang pendidikan, dengan keahlian di bidang tanaman, dengan passion di dunia komunitas, sesungguhnya adalah sebuah kekayaan. Tepatnya, kekayaan kontribusi untuk negeri.
Kelima, kesediaan berinovasi. Berkelindannya zaman, mau tidak mau menuntut kita untuk mencari cara dan gaya baru. Bahkan pandemi telah menjadi medan belajar yang sangat kontekstual untuk kita tetap dapat bergerak di tengah rupa-rupa keterbatasan.
Pun dengan sebuah value yang dipesankan oleh Ali bin Abi Thalib kepada kita sebagai pewaris peradaban, tentang mendidik generasi sesuai zamannya.
Analoginya adalah bahwa mendesain gagasan itu menjadi sebuah keniscayaan, di mana kita tak bisa diam berpangku tangan hanya karena zaman telah berbeda.
Dari kelima upaya tersebut, menjadi korelasi indah dengan idealisme Kartini yang terlanggengkan dalam banyak tulisan, di mana Kartini berharap agar para perempuan berpikir maju.
Hal ini bisa kita telisik pada dialog beliau bersama seorang kiyai bernama Sholeh bin Umar, di mana Kartini sangat terobsesi untuk memahami ajaran Al-Quran.
Ini sebuah representasi tentang urgensi pendidikan bagi kaum perempuan, di mana pendidikan menjadi jendela cara pandang dan kemajuan.
Sumber: Kompasiana